Sabtu, 12 April 2014

Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Budaya Islam di Indonesia

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham Sunni, namun pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa menganut paham Syi‘ah. Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.




1.2.      RUMUSAN MASALAH
Materi yang akan dibahas didalam makalah ini adalah :
1.      Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
2.      Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kerajaan-Kerajaan
3.      Perubahan dan Kesinambungan Budaya
4.      Situasi dan kondisi politik dan pemerintahan
5.      Situasi dan kondisi sosial budaya


1.3.      TUJUAN        
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1.    Mengetahui bagaimana proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia.
2.    Mengetahui perkembangan Islam di Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan
3.    Mengetahui perubahab dan kesinambungan budaya
4.    Mengetahui siuasi dan kondisi politik dan pemerintahan
5.    Mengetahui situasi dan kondisi social budaya



BAB II
PEMBAHASAN
2.1       PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA
Islam masuk ke Indonesia akibat adanya perdagangan dan pelayaran internasional. Pada saat itu, jalur perdagangan internasional Timur Tengah-India-Malaka-Cina merupakan satu-satunya jalur perdagangan Asia yang sangat ramai. Bersamaan dengan kesibukan perdagangan antarbangsa yang melewati Indonesia itulah, Islam masuk ke Indonesia.
Islam masuk ke Indonesia ketika sebagian masyarakatnya sudah memeluk agama Hindu atau Buddha, atau saat masyarakat masih memeluk kepercayaan asli, atau bahkan saat Hindu-Buddha, dan kepercayaan asli bercampur saling mempengaruhi. Namun yang jelas, Islam datang setelah Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia terlebih dahulu. Penyebaran pengaruh Islam yang berasal dari jazirah Arab ke Asia dan benua lainnya, menimbulkan pusat-pusat agama Islam di kawasan tersebut, yang berperan sebagai pusat pemerintahan dan peradaban, juga berperan dalam penyebaran pengaruh Islam ke wilayah sekitarnya. Indonesia telah mengadakan hubungan ekonomi, hubungan sosial, dan hubungan politik dengan pusat-pusat Islam di Asia Selatan maupun pusat-pusat Islam lainnya.
Hubungan dalam bidang ekonomi sudah dilaksanakan sejak lama. Lebih-lebih pada abad ke-7, dimana perdagangan begitu ramainya, terutama di Selat Malaka. Sedangkan bandarbandar Indonesia berada di seputar Selat Malaka, yang tentu saja sangat ramai dikunjungi pedagang mancanegara. Hasil hutan dan rempah-rempah dari Indonesia turut diperdagangkan, bahkan merupakan barang dagangan yang sangat laku. Hubungan dalam bidang sosial ditandai dengan adanya interaksi sosial antara para pedagang muslim yang banyak bermukim di Indonesia dengan masyarakat setempat. Adanya interaksi sosial inilah yang akhirnya memberikan pengaruh masuknya nilai dan ajaran Islam sehingga semakin banyak yang memeluk agama Islam. Hubungan dalam bidang politik terjalin setelah kerajaan Islam berdiri di Indonesia pada abad ke-13 M, yaitu saat berdirinya Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Hubungan Indonesia dengan pusat-pusat Islam lainnya pun sudah sangat intensif. Selain dalam rangka membendung dominasi Portugis di Selat Malaka, hubungan itu juga Nampak dari pusat-pusat perdagangan di Asia, yang berhubungan dengan kerajaan Islam di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kerajaan Samudra Pasai pun telah menjalin hubungan dagang dan politik dengan Cina, India, dan Asia Barat.
Hubungan antara Indonesia dengan pusat-pusat perkembangan Islam di Bagdad, Kairo, Kordoba, sudah terjadi sejak sebelum abad ke-15, meskipun hubungan itu tidak langsung, tetapi melalui jalur-jalur perdagangan yang sedang berkembang. Bandar-bandar yang paling ramai dikunjungi para pedagang adalah bandar Gujarat dan Malaka. Bahkan Malaka merupakan Bandar terbesar di Asia Tenggara. Malaka pun merupakan pintu gerbang keluar masuk pedagang-pedagang nusantara.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur  Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
1.      Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a.       Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b.      Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c.       Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2.      Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a.       Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b.      Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.       Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.


3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
a.       Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b.      Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c.       Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.
d.      Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e.       Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).







2.2       PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA KERAJAAN-KERAJAAN
Islam dimulai di wilayah ini lewat kehadiran Individu-individu dari Arab, atau dari penduduk asli sendiri yang telah memeluk Islam. Dengan usaha mereka. Islam tersebar sedikit demi sedikit dan secara perlahan-lahan. Langkah penyebaran islam mulai dilakukan secara besar-besaran ketika dakwah telah memiliki orang-orang yang khusus menyebarkan dakwah. Setelah fase itu kerajaan-kerajaan Islam mulai terbentuk di kepulauan ini. Diantara kerajaan-kerajaan terpenting adalah sebagai berikut:

1.      Kerajaan Malaka (803-917 H/1400-1511M)
Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Sebutan ini diberikan mengingat peranannya sebagai jalan lalulintas bagi pedagang-pedagang asing yang berhak masuk dan keluar pelabuahan-pelabuhan Indonesia. Letak geografis Malaka sangat menguntungkan, yang menjadi jalan sialng anntara AsiaTimur dan asia Barat.
Dengan letak geografis yang demikian membuat Malaka menjadi kerajaan yang berpengaruh atas daerahnya. Setelah Malaka menjadi kerajaan Islam, para pedagang, mubaligh, dan guru sufi dari negeri Timur Tengah dan India makin ramai mendatangi kota Bandar Malaka. Dari bandar ini, Islam di bawa ke pattani dan tempat lainnya di semenanjung seperti Pahang, Johor dan perlak.
Kerajaan Malaka menjalin hubungan baik dengan Jawa, mengingat bahwa
Malaka memerlukan bahan-bahan pangan dari Jawa. Di mana hal ini untuk memenuhi kebutuhan kerajaannya sendiri. Persediaan dalam bidang pangan dan rempah-rempah harus selalu cukup untuk melayani semua pedagang-pedagang. Begitu pula pedangan-pedagang Jawa juga membawa rempah-rempah dari Maluku ke Malaka. Selain dengan Jawa, Malaka juga menjalin hubungan dengan Pasai. Pedagang-pedangan Pasai membawa lada ke pasaran Malaka. Dengan kedatanganpedagang Jawa dan Pasai, maka perdagangan di Malaka menjadi ramai dan lebih berarti bagi para pedagang Cina. Selain dalam bidang ekonomi, Malaka juga maju dalam bidang keagamaan. Banyak alim ulama datang dan ikut mengembangkan agama Islam di kota ini. Penguasa Malaka dengan sendirinya sangat besar hati.
Meskipun penguasa belum memeluk agama Islam namun pada abad ke-15 mereka telah mengizinkan agama Islam berkembang di Malaka. Penganut-penganut agama Islam diberi hak-hak istimewa bahkan penguasa membuatkan bangunan masjid. Kesultanan Malaka mempunyai pengaruh di daerah Sumatera dan sekitarnya, dengan mempengaruhi daerah-daerah tersebut untuk masuk Islam seperti: Rokan, Kampar, India Giri dan Siak. Dan kesultanan Malaka merupakan pusat perdaganganinternasional antara Barat dan Timur, pelabuhan transit. Maka dengan didudukinya Kesultanan Malaka oleh Portugis tahun 1511, maka kerajaan di Nusantara menjadi tumbuh dan berkembang karena jalur Selat Malaka tidak digunakan lagi oleh pedagang Muslim sebab telah diduduki oleh Portugis.
Dengan demikian tidaklah akan dicapai kemajuan oleh kerajaan Malaka jika kerajaan itu tidak mempunyai peraturan-peraturan tertentu, yang memberi jaminan lumayan kepada keamanan perdagangan. Seperti contohnya aturan bea cukai, aturan tentang kesatuan ukuran, sistem pemakaian uang logam dan sebagainya. Di samping aturan yang diterapkan juga sistem pemerintahannya sangat baik dan teratur.

2. Kerajaan Aceh (920-1322 H/1514-1904 M)
Pada abad ke-16, Aceh mulai memegang peranan penting dibagin utara pulau Sumatra. Pengaruh Aceh ini meluas dari Barus di sebelah utara hingga sebelah selatan di daerah Indrapura. Indrapura sebelum di bawah pengaruh Aceh, yang tadinya merupakan daerah pengaruh Minangkabau. Yang menjadi pendiri kerajaanAceh adalah Sultan Ibrahim (1514-1528), ia berhasil melepaskan Aceh dari Pidie.
Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wiliyah Aceh dan pergantian agama diperkiraan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Kerajaan Aceh yang letaknya di daerah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya.  Aceh mengalami kemajuan ketika saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya dagang di Malaka kemudian memindahkan perdagangannya ke Aceh, ketika Portugis menguasai Malaka tahun 1511.  Ketika Malaka di kuasa Portugis tahun 1511, maka daerah pengaruhnya yang terdapat di Sumatera mulai melepaskan diri dari Malaka. Hal ini sangat menguntungkan kerajaan Aceh yang mulai berkembang. Di bawah kekuasaan Ibrahim, kerajaaan Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya. Operasi-operasi militer diadakan tidak saja dengan tujuan agama dan politik, akan tetapi juga dengan tujuan ekonomi.
Kebesaran  kerajaan Aceh ketika diperintah oleh Alauddin Riayat Syah. Kekuasaannya sampai ke wilayah Barus. Dua putra Alauddin Riayat Syah kemudian diangkat menjadi Sultan Aru dan sultan Parlaman dengan nama resmi Sultan Ghori dan Sultan Mughal. Dalam menjaga keutuhan kerajaan Aceh, maka di mana-mana di daerah pengaruh kekuasaan Aceh terdapat wakil-wakil Aceh. Aceh menjalin hubungan yang baik dengan Turki dan negara-negara Islam lain di Indonesia, hal ini terbukti di mana ketika Aceh mengahadapi balatentara Portugis Aceh meminta bantuan Turki tersebut. Dalam membangun aggkatan perangnya yang baik hal ini pun berkat bantuan Turki.
Kejayaan kerajaan Aceh pada puncaknya ketika diperintahkan oleh Iskandar Muda. Ia mampu menyatukan kembali wilayah yang telah memisahkan diri dari Aceh ke bawah kekuasaannya kembali.  Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga Minangkabau. Dimasa pemerintahannya, Sultan Iskandar muda tidak bergantung kepada Turki Usmani. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerjasama dengan musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
Setelah Iskandar Muda digantikan oleh penggantinya, Iskandar Tsani, bersikap lebih libeh, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetap tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana tahun 1641-1699, beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Pada abad 18 Aceh hanya sebagai kenangan masa silam dari bayngannya sendiri. Akhirnya kesultanan Aceh menjadi mundur.

3. Kerajaan Demak ( 918- 960 H/ 1512-1552 M)
Di Jawa Islam di sebarkan oleh para wali songo (wali sembilan), mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik, bahkan sering kali seorang raja seolah-olah baru sah seorang raja kalau ia sudah diakui dan diberkahi wali songo. Para wali menjadikan Demak sebagai pusat penyebaran Islam dan sekaligus menjadikannya sebagai kerajaan Islam yang menunjuk Raden Patah sebagai Rajanya. Kerajaan ini berlangsung kira-kira abad 15 dan abad 16 M. Di samping kerajaan Demak juga berdiri kerajaan-kerajaan Islam lainnya seperti Cirebon, Banten dan Mataram.
Demak merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Islam yang berkembang di pantai utara Pulau Jawa. Raja pertamanya adalah Raden Patah. Sebelum berkuasa penuh atas Demak, Demak masih menjadi daerah Majapahit. Baru Raden Patah berkuasa penuh setelah mengadakan pemberontakan yang dibantu oleh para ulama atas Majapahit. Dapat dikatakan bahwa pada abad 16, Demak telah menguasai seluruh Jawa. Setelah Raden Patah berkuasa kira-kira diakhir abad ke-15 hingga abad ke-16, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Pati Unus. Dan kemudian digantikan oleh Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546 dan berhasil menguasai beberapa daerah.
Perkembangan dan kemajuan Islam di pulau Jawa ini bersamaan dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal ini memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan yang tertua dari wali Songo.
Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton pusat. Kerajaan Demak menempatkan pengaruhnya di pesisir utara Jawa Barat itu tidak dapat dipisahkan dari tujuannya yang bersifat politis dan ekonomi. Politiknya adalah untuk mematahkan kerajaan Pajajaran yang masih berkuasa di daerah pedalaman, dengan Portugis di Malaka.

4. Kerajaan Banten (960-1096 H/1552-1684 M)
Banten merupakan kerajaan Islam yang mulai berkembang pada abad ke-16, setelah pedagang-pedagang India, Arab, persia, mulai menghindarai Malaka yang sejak tahun 1511 telah dikuasai Portugis. Dilihat dari geografinya, Banten, pelabuhan yang penting dan ekonominya mempunyai letak yang strategis dalam penguasa Selat Sunda, yang menjadi uratnadi dalam pelayaran dan perdagangan melalui lautan Indoneia di bagian selatan dan barat Sumatera. Kepentingannya sangat dirasakan terutama waktu selat Malaka di bawah pengawasan politik Portugis di Malaka.
Sejak sebelum kedatangan Islam, ketika berada di bawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran), Banten sudah menjadi kota yang berarti. Pada tahun 1524 Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam di sana.
Kerajaan Islam di Banten yang semula kedudukannya di Banten Girang dipindahkan ke kota Surosowan, di Banten lama dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera, melalui selat sunda dan samudra Indonesia. Situasi ini berkaitan dengan kondis politik di Asia Tenggara masa itu setelah malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang yang segan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda.
Tentang keberadaan Islam di Banten, Tom Pires menyebutkan, bahwa di daerah Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan Cirebon, banyak dijumpai orang Islam. Ini berarti pada akhir abad ke-15 M diwilayah kerajaan Sunda Hindu sudah ada masyarakat yang beragama Islam. Karena tertarik dengan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari pernikahan ini Syaraif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberi nama Ratu winaon dan Hasanuddin. Tidak lam kemudian, karena panggilan uwaknya, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah berangkat ke Cirebon menggantika umawknya yang sudah tua.
Sedangkan tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada anaknya yaitu Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikahi puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung dan sekitarnya di Sumatera Selatan. Pada tahun 1568, disaat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap sebagai seorang raja Islam yang pertama di Bnaten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak.
Pada masa kekuasaan Maulana Hasanuddin, banyak kemajuan yang dicapai Banten dalam segala bidang kehidupan. Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan di makamkan di samping Masjid Agung. Untuk meneruskan kekuasaannya beliau digantikan oleh anaknya yaitu Maulana Yusuf.
Pada masa pemerintahan dijalankan oleh Maulana Yusuf, strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Di tahun 1579 Maulana Yusuf dapat menaklukan Pakuan, ibukota kerajaan Pajajaran yang belum Islam yang waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Maulana Yusuf meninggal dunia pada tahun 1580, dan di makamkan di pakalangan Gede dekat kampung kasunyatan. Setelah meninggalnya Maulana Yusuf, pemerintahan selanjutnya di teruskan oleh anaknya yaitu Muhammad yang masih muda belia. Selama Maulana Muhamad masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh qadhi. Maulana Muhamad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Pada masa pemerintahannya Masjid Agung yang terletak di tepi alun-alun diperindahnya. Tembok masjid dilapisi dengan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu cendana. Untuk tempat solat perempuan dibuatkan tempat khusus yang disebut pawestren atau pawedonan. Maulana Muhamad meninggal tahun 1596 M, ketika sedang mengadakan penyerangan terhadap Palembang. Pemerintahan Banten kemudian di pegang oleh anak Maulana Muhammad yang bernama Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir, dinobatkan pada usia 5 bulan. Dan untuk menjalankan roda pemerintahannya ditunjuk Mangkubumi Jayanagara sebagai walinya. Ia baru aktif memegang kekuasan pada tahun 1626. Pada tahun 1651 ia meninggal dunia, dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa pemerintahannya pernah terjadi beberapa kali peperangan
antara Banten dengn VOC, dan berakhir dengan perjanjian damai tahun 1659 M

5. Kerajaan Goa (Makasar) (1078 H/1667 M)
Kerajaan yang bercorak Islam di Semenanjung Selatan Sulawesi adalah Goa-Tallo, kerajaan ini menerima Islam pada tahun 1605 M. Rajanya yang terkenal dengan nama Tumaparisi-Kallona yang berkuasa pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Ia adalah memerintah kerajaan dengan peraturan memungut cukai dan juga mengangkat kepala-kepala daerah.
Kerajaan Goa-Tallo menjalin hubungan dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Penguasa Ternate mengajak penguasa Goa-tallo untuk masuk agama Islam, namun gagal. Islam baru berhasil masuk di Goa-Tallo pada waktu datuk ri Bandang datang ke kerajaan Goa-Tallo. Sultan Alauddin adalah raja pertama yang memeluk agama Islam tahun 1605 M.
Kerajaan Goa-Tallo mengadakan ekspansi ke Bone tahun 1611, namun ekspansi itu menimbulkan permusuhan antara Goa dan Bone. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Goa-Tallo berhasil, hal ini merupakan tradisi yang mengharuskan seorang raja untuk menyampaikan hal baik kepada yang lain. Seperti Luwu, Wajo, Sopeng, dan Bone. Luwu terlebih dahulu masuk Islam, sedangkan Wajo dan Bone harus melalui peperangan dulu. Raja Bone yang pertama masuk Islam adalah yang dikenal Sultan Adam.

6. Kerajaan Maluku
Kerajaan Maluku terletak dibagian daerah Indonesia bagian Timur. Kedatangan Islam keindonesia bagian Timur yaitu ke Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalan perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran Internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Diceritakan bahwa pada abad ke-14 Raja ternate yang keduabelas, Molomateya, (1350-1357) bersahabat baik dengan orang Arab yang memberikan petunjuk bagaimana pembuatan kapal-kapal, tetapi agaknya bukan dalam kepercayaan. Manurut tradisi setempat, sejak abad ke-14 Islam sudah datng di daerah Maluku. Pengislaman di daerah Maluku, di bawa oleh maulana Husayn. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Marhum di Ternate.
Raja pertama yang benar-benar muslim adalah Zayn Al- Abidin (1486-1500), Ia sendiri mendapat ajaran agama tersebut dari madrasah Giri. Zainal Abidin ketika di Jawa terkenal sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkeh, karena membawa cengkeh dari Maluku untuk persembahan. Sekembalinya dari jawa, Zainal abidin membawa mubaligh yang bernama Tuhubabahul. Yang mengantar raja Zainal Abidin ke Giri yang pertama adalah Jamilu dari Hitu. Hubungan Ternate, Hitu dengan Giri di Jawa Timur sangat erat.
Tentang masuknya Islam ke Maluku, Tome Pires mengatakan bahwa kapalkapal dagang dari Gresik ialah milik Pate Cucuf. Raja ternate yang sudah memeluk Islam bernama Sultan Bem Acorala, dan hanyalah raja ternate yang disebut sultan sedang yang lainnya digelari raja. Dijelaskan bahwa ia sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi raja Tidore yang bernama Raja Almancor.
Di Banda, Hitu, Maluku dan Bacan sudah terdapat masyarakat Muslim. Di daerah Maluku itu raja yang mula-mula masuk Islam sebagaimana dijelaskan Tome Pires sejak kira-kira 50 tahun yang lalu, berarti antara 1460-1465. Tahun tersebut boleh dikatakan bersama dengan berita antonio Galvano yang mengatakan bahwa Islam di daerah ini di mulai 80 atau 90 tahun yang lalu yang kalau dihitung dari waktu Galvano di sana sekitar 1540-1545 menjadi 1460-1465.
Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang sampai di sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit. Dalam proses Islamisasi di Maluku menghadapi persaingan politik dan monopoli perdagangan diantara orang-orang Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Persaingan diantara pedagang-pedagang ini pula menyebabkan persaingan diantara kerajaan-kerajaan Islam sendiri sehingga pada akhirnya daerah Maluku jatuh ke bawah kekuasaan politik dan ekonomi kompeni Belanda.


2.3       PERUBAHAN DAN KESINAMBUNGAN BUDAYA
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.  Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para  seniman  ukir  kemudian  menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam  hias stiliran.  Kota-kota mempunyai komponen dan  tata ruang baru.  Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Çaka dan Hijriyah. Akan tetapi,  pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.


2.4       SITUASI DAN KONDISI POLITIK PEMERINTAHAN
a. Di Sumatera
Pada saat Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-7 sampai ke-9 Masehi, sebenarnya Selat Malaka sudah mulai ramai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim, dalam pelayarannya ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Kedatangan orang-orang Islam ke Asia Tenggara dan Asia Timur, pada awalnya belum terasa pengaruhnya, karena masih dalam taraf penjajakan di bidang pelayaran dan perdagangan. Namun pada abad ke-9 M, ketika para petani Cina Selatan mengadakan pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintahan Hi Tsung (878-778 M), dimana orang-orang muslim terlibat di dalamnya, dan minta perlindungan ke Kedah, ternyata Kedah melindungi orangorang muslim tersebut. Padahal saat itu Kedah masuk wilayah kekuasaan Sriwijaya. Pada awal abad ke-16, daerah-daerah pesisir Sumatera Utara dan Timur Selat Malaka, yaitu dari Aceh sampai Palembang, sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan Islam.
b. Di Pulau Jawa
Masuknya pengaruh Islam pertama kalinya ke Pulau Jawa, belum dapat diketahui dengan pasti. Namun Batu Nisan Kubur Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M), barangkali merupakan bukti nyata kedatangan Islam ke Jawa Timur. Namun bukan berarti sudah terjadi proses masuknya pengaruh Islam yang luas di Jawa.
Proses Islamisasi di Jawa Timur sudah terjadi semenjak kejayaan Majapahit. Hal ini dapat diketahui dari penemuan puluhan nisan kubur di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, serta berita Ma-huan tahun 1416 yang menceritakan orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Gresik. Hal ini membuktikan bahwa di pusat Kerajaan Majapahit maupun di pesisir, terutama di kotakota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan terbentuknya masyarakat muslim waktu itu.
Ketika Majapahit masih dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada, situasi politik di daerah kekuasaan Majapahit cenderung tenang dan semua raja bawahan patuh dan mengakui kedaulatan Majapahit. Namun ketika kedua tokoh itu wafat, yaitu Gajah Mada pada 1364 dan Hayam Wuruk pada 1389, situasi politik berubah total. Majapahit semakin lemah, dan raja-raja bawahan mulai melepaskan diri. Ini merupakan peluang bagi penyebaran agama Islam.
Meskipun Kerajaan Hindu yang besar di Kediri sudah tumbang pada tahun 1526, namun kerajaan-kerajaan kecil di Pasuruan dan Panarukan dengan pusatnya di Blambangan belum Islam. Pasuruan baru tunduk kepada Islam sejak tahun 1546, ketika diserang Demak pimpinan Trenggana. Pajajaran baru jatuh ke tangan muslim pada tahun 1579/1580 karena serangan dari Kerajaan Banten.
c. Di Sulawesi
Di Sulawesi, beberapa raja yang resmi masuk Islam adalah sebagai berikut.
·         Raja Gowa dan Tallo resmi masuk Islam pada 22 September 1605.
·         Raja Wajo resmi masuk Islam pada 10 Mei 1610.
·         Raja Bone resmi masuk Islam pada 23 Nopember 1611.
d. Di Maluku
Kedatangan Islam ke Indonesia bagian timur, yaitu ke daerah Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Hal ini yang mengakibatkan di Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Bacan, sudah terdapat masyarakat muslim. Akibat persaingan dalam perdagangan, akhirnya Maluku jatuh di bawah kekuasaan politik dan ekonomi Kompeni Belanda.
e. Di Kalimantan
Di Kalimantan Selatan, pengaruh Islam mulai masuk ketika ada perebutan kekuasaan antarkeluarga kerajaan, dan minta bantuan Demak untuk menyelesaikannya. Proses Islamisasi di Banjarmasin terjadi pada tahun 1550. Di Kalimantan Timur, proses Islamisasi terjadi sekitar tahun 1575.


2.5       SITUASI DAN KONDISI SOSIAL BUDAYA
Pada masa kedatangan Islam, di Indonesia terdapat beragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi dan sosial budaya. Suku bangsa di pedalaman, Perkembangan pada Masa Islam di Indonesia belum banyak mengalami percampuran jenis bangsa dan budaya dari luar. Struktur ekonomi dan sosial budaya cenderung statis dibandingkan dengan mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir. Lebih-lebih mereka yang tinggal di kotakota pelabuhan.
Pada awal penyebaran Islam di Indonesia masih berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, yaitu Sriwijaya dan Melayu di Sumatera, Majapahit dan Pajajaran di Jawa, Nagara-Daha dan Kutai di Kalimantan. Di samping itu di Sulawesi terdapat kerajaan-kerajaan yang tidak tersentuh pengaruh Hindu- Buddha, antara lain Gowa, Wajo, Bone, dan puluhan kerajaan  lagi yang hidup subur yang masih menyembah berhala. Di Maluku ada kelompok masyarakat yang belum Islam, tetapi juga tidak kena pengaruh Hindu-Buddha. Di pedalaman Banda masih menganut berhala. Di Pedalaman Kalimantan budayanya masih menunjukkan pra Hindu dan pra Islam. Di beberapa daerah, meskipun budaya asing dan agama telah masuk ke Indonesia,  namun itu hanya lapisan tipis di luarnya saja, sedang yang ada di dalamnya adalah seluruh bentuk asli dan kuno yang masih tetap ada dan masih terus berlanjut.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, masing-masing daerah menggunakan bahasa daerahnya sendiri, seperti di Jawa menggunakan bahasa Jawa Kuno dan Sunda Kuno; di Sumatera dengan bahasa Melayu, Batak, Kubu, Nias, Minangkabau, dan Padang di Kalimantan dengan bahasa Melayu, Banjar, Dayak, di Sulawesi menggunakan bahasa Bugis, Makassar, dan masih banyak lagi.
Sampai dengan abad ke-20, daerah yang dipengaruhi dan tidak dipengaruhi Islam di Indonesia sebagai berikut.
·         Di Sumatera, hampir seluruh wilayahnya sudah dipengaruhi Islam, kecuali sebagian daerah Batak di Sumatera Utara.
·         Di Pulau Jawa, seluruh wilayahnya sudah dipengaruhi Islam.
·         Di Kalimantan, hampir seluruh wilayahnya sudah dipengaruhi Islam, kecuali daerah pedalaman.
·         Di Sulawesi, hampir seluruh wilayahnya sudah dipengaruhi Islam, kecuali sebagian Sulawesi Utara agama Kristen cukup kuat. Namun kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara sangat baik.
·         Di Bali dan Nusa Tenggara Barat maupun Timur, Islam sudah banyak dianut masyarakat, namun pengaruh Hindu masih sangat kuat.
Pada masyarakat Lombok hingga kini ada yang dinamakan Sembahyang Waktu Telu, yaitu melakukan sembahyang hanya tiga kali saja sehari (bukan
sembahyang lima waktu lazimnya orang Islam).




BAB III
PENUTUP
3.1       KESIMPULAN
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsurunsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya.
Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam ( kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap.
Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.      
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan cirri- ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia.
Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.

3.2       SARAN

       
Adapun saran yang dapat disampaikan oleh pemakalah adalah sbb :
1.      Diharapkan  setelah kami mendiskusikan makalah ini di depan teman-teman, teman-teman dapat    memahaminya dengan baik.
2.      Semoga dengan adanya tugas makalah dan  kami semua bisa mengetahui tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan budaya islam di indonesia.
3.      Diharapkan kepada ibu dosen. Sering-seringlah memberikan tugas-tugas kepada kami.
Saya sangat membutuhkan saran-saran dan kritik dari teman-teman sekalian dan terutama ibu dosen. Agar lebih mendapat pengetahuan lebih dalam lagi.

DAFTAR PUSTAKA

GOOGLE (http://www.berryhs.com/2011/06/download-makalah-proses-masuk-dan.html)